BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sandang atau pakaian merupakan salah
satu kebutuhan utama manusia. Sementara ilmuan berpendapat bahwa manusia baru
mengenal pakaian sekitar 72.000 tahun yang lalu. Menurut mereka , homo sapiens
nenek moyang kita yang berasal dari Afrika merasa gerah menetap disatu tempat.
Akib atnya sebagian dari mereka berpindah dari satu tempat ketempat yang lain
dan bermukim di daerah dingin. Nah,disana dan sejak saat itulah mereka
berpakaian yang bermula dari kulit hewan guna menghangatkan badan mereka.
Semua
manusia kapan dan di manapun, maju maupun ter belakang beranggapan bahwa
pakaian adalah kebutuhan. Kelompok nudis pun yang menganjurnkan menanggalkan
pakaian, merasa membutuhkannya, paling tidak ketika mereka merasakan sengatan
dingin. Masyarakat Tuarek di Gurun Sahara, Afrika Utara, menutupi badan mereka
dengan pakaian, agar terlindung dari sengatan panas matahari dan pasir yang biasa beterbangan di
Gurun yang terbuka itu. Masyarakat yang ada di kutub mengenal pakaian tebal yang
terbuat dari kulit dan bulu agar mampu menghangatkan badan mereka.
Disisi lain,
pakain berkaitan juga dengan rasa keindahan. Seorang yang berada di
pedalaman Papua misalnya, ketika memakai
koteka ratusan tahun yang lalu, pastilah merasa ada unsur keindaha yang
ditimbulkannya. Sebagaimana halnya seorang diplomat Negara maju yang mengenakan
jas dan “balck tie” pada acara- acara
khusus. Disisi lain pula pakaian menjadi tolak ukur dari penampilan. Ada banyak
cara yang dilakukan tampil sesuai dengan keinginan, berbagai macam hal
dipergunakan untuk mencapai keinginan. Seperti halnya wanita Afrika yang
menusuk bibirnya, wanita India melubangi hidungnya,
atau pada umumnya wanita melubangi daun telinganya, kesemuanya itu dilakukan
untuk berupaya menampilkan keindahan melalui apa yang dilakukan dan dipakainya.
Pada lain hal seseorang yang memiliki aib semacam kekurangan pada bagian tubuhnya akan menggunakan pakaian
tertentu untuk menutupinya.
Tak dapat
dipungkiri, pakaian dapat memberi dampak psikologis bagi pemakainya. Cobalah
kepesta dengan menggunakan pakaian sehari-hari pasti anda akan merasa minder,
sebaliknya anda akan merasa lebih percaya diri jilka memakai pakaian istimewah.
Pakaian
adalah produk budaya sekaligus tuntunan agama dan moral. Dari sinilah lahir apa
yang dinamakan pakaian tradisional,daerah dan nasional, juga pakaian resmi
untuk perayaan tertentu,profesi tertentu begitu pula pakaian untuk pakaian
beribadah. Namun perlu dicatat, sebagian dari tuntunan agama pun lahir dari
budaya masyarakat, karena agama sangat mempertimbangkan kondisi masyarakat
sehingga menjadikan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilainya
sebagai salah satu pertimbangan hukum “Al-Adatul
Muhakkimah".
Menurut sementara pakar bahwa bentuk
pakaian yang dianjurkan oleh agama juustru lahir dari budaya yang berkembang
ketika itu. Namun yang jelas dan tak dapat dipungkiri bahwa moral, cita rasa
keindahan, dan sejarah bangsa ikut serta menciptakan ikatan-ikatan khusus bagi
anggota masyarakat yang antara lain melahirkan bentuk pakaian dan warna-warni
favorit tertentu.
B. RUMUSAN
MASALA
Untuk membatasi obyek pembahasan
dalam makalah ini maka kami merasa perlu memberikan rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Ayat-ayat tentang pakaian dalam al-Qur’an
2.
Penafsiran kata-kata pakaian dalam al-Qur’an menurut
M. Qurais Shihab.
3.
Fungsi-fungsi pakaian menurut tuntunan al-Qur’an
C. TUJUAN
Salah satu bukti kemajuan ilmu
pengetahuan dibidang tafsir al-Qur’an adalah munculnya para ahli-ahli tafsir
dan menuangkan penafsiran pemikirannya dalam bentuk karya. Contoh yang paling penomenal
sekarang ini adalah “Tafsir al-Misbah”
karya Prpf. Dr. M Quraish Shihab. Dalam makalah ini penyusun akan memaparkan
pandangan beliau mengenai uraian al-Qur’an tentang pakain, tujuannya adalah
untuk memgetahui pandangan beliau tentang hal tersebut bagi penyusun secara
pribadi, dan kepada orang yang membacanya secara umum.
BAB
II
PEMBAHASAN
URAIAN AL-QUR’AN
TENTANG PAKAIAN
(Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab)
A. [Surah
al-A’raf (7)22]
Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah SWT. melukiskan
keadaan nabi Adam as dan pasangannya Hawa sesaat setelah melanggar perintah
Tuhan mendekati sebuah pohon. Pada awalnya Tuhan melarang Adam dan Hawa untuk
mendekati pohon itu, namun oleh karna tergoda dengan tipu daya setan akhirnya
keduanya terpedaya. Adam dan Hawa mendekati bahkan sampai-sampai keduanya
mencicipi buah pohon tersebut. Redaksi dalam Al-Qur’an dapat kami uraikan
sebagai berikut :
“Maka ia menurunkan keduanya dengan tipu
daya. Maka tatkala keduanya telah merasakan buah pohon itu, nampaklah bagi
keduanya sauat-sauatnya, dan mulailah keduanya yakhshifani/ menutupinya dengan
daun-daun surga. Dan Tuhan mereka menyeru mereka
berdua: bukankah Aku telah melarang kamu berdua melampaui pohon itu dan Aku
katakana kepada kamu berdua: sesungguhnya setan itu bagi kamu berdua adalah
musuh yang nyata.”[ QS. al Al-A’raf (7)22]
Kurang lebih
seperti itulah redaksi ayat yang melukiskan keadaan nabi Adam dan Hawa.
Penyusun mengankat terjamahan ayat
diatas dari kitab “Tafsir al-Misbah volume ke-4 halaman 57”.
Lebih awal
penyusun katakan bahwa, kami tidak akan membahas secara menyeluruh ayat diatas
dah begitu pula ayat selanjutnya, sebab kami membatasinya dengan memaparkan
tentang pakaian yang ada dalam Al-Qur’an.
Dalam ayat
yang telah diuraikan diatas terdapat kata “yakhshifani”yang
berarti menutupi terambil dari kata “khashafa”
yang berarti menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Contoh yang
diungkapkan oleh para pakar bahasa tentang kata ini adalah menempelkan lapisan
baru pada lapisan yang telah usang agar menjadi lebih kuat. Ayat ini memberikan
isyarat bahwa Adam as. dan pasangannya tidak menutupi aurat dengan sekedarnya
saja atau dengan selembar daun saja akan tetapi, kata “yakhshifani” yang tercantum pada ayat diatas berarti “daun diatas daun.” Setelah menutupinya
dengan satu daun, kembali menutupinya satu daun lagi diatas daun yang
sebelumnya. Ini mereka lakukan agar auratnya benar-benar tertutupi seakan
menandakan tak ada cela yang tersisa yang dapat memperlihatkan auratnya. Dari
ayat ini pulah dapat dipahami bahwa menutup aurat merupakan fitrah manusia yang
diaktualkan oleh Adam as. dan pasangannya pada saat kesadaran mereka muncul
sekaligus menandakan bahwa siapa yang belum memiliki kesadaran, seperti halnya
anak-anak dibawah umur maka mereka tidak segan membuka dan memperlihatkan
auratnya.
Ada dua
pelajaran penting yang bisa kita petik dari makna kata “yakhshifani” pada ayat diatas.
1. Kata “yakhshifani” yang terangkat dari kata “khashafa” berarti menempelkan sesuatu
pada sesuatu yang lain. Al-Qur’an memberi isyarat bahwa pakaian yang
disyari’atkan oleh agama adalah pakaian yang benar-benar menutup aurat bukan
pakaian mini atau pakaian yang transparan/tembus pandang.
2. Kata “yakhshifani” itu sendiri berarti
menutup. Ini memberi isyarat bahwa pakaian yang sifatnya tidak menutup tidak
disyari’atkan oleh agama. Seperti halnya pakaian yang ketat yang dapat
memperlihatkan lekak-lekuk tubuh. Pakaian yang semacam ini sifatnya tidak
menutup akan tetapi membungkus sebab memperlihatkan bentuk tubuh yang
sebenarnya.
B. [Surah al-A’raf (7)26]
Dalam surah ini mengandung pesan tentang ni’mat Tuhan antara
lain ketersediaan pakaian yang dapat menutup aurat yang dipruntuhkan untuk
hanba-hamba-Nya.
Hai
anak-anak Adam, sesungguhny kami telah menurunkan kepada kamu pakaian untuk menutupi
sauat-sauat kamu dan bulu. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
mudah-mudahan mereka selalu ingat. [QS. al-A’raf (7)26]
Kata “libas” bermakna umum, yaitu segala sesuatu yang dipakai dalam hal
ini seperti penutup badan, penutup kepala ataukah segalah seseuatu yang
dikenakan ditangan, dijari atau dilengan seperti cincin dan gelang. Kesemuanya
ini dicakup dlam kata “libas”.
Satu hal yang patut dicermati dari
penggalan kata “libas” yang telah
disebutkan, itu hanya tertuju pada hal lahiriyah saja atau pakaian yang tampak
dengan kasat mata. Sama seperti yang telah dibahas pada ayat sebelumnya [QS.
al-A’raf (7)22] bahwa fungsi utama pakaian itu adalah menutup aurat. Dalam ayat
ini, kembali ditegaskan bahwa Allah SWT. telah menurunkan pakaian sebagai
anugrah, atau sebagai nikmat kepada anak-cucu Adam. Lebih dalam lagi makna dari
pakaian disini bukan berarti dalam bentuk pakaian yang telah utuh sebagai
pakaian seperti yang telah difahami selama ini, akan tetapi menurunkan bahan
yang bisa dijadikan pakaian, atau menyiapkan bahan pakaian untuk dijadikan
pakaian dan digunakan untuk sebagaimana mestinya.
Kata “risy” pada mulanya berarti bulu, namun karena bulu binatang
merupakan hiasan dan hingga kini masi dipakai oleh sementrara orang sebagai
hiasan, baik dikepala maupun yang melilit dileher, kata tersebut dapat dipahami
dalam arti pakaian yang berfungsi sebagai hiasan. Dari sini kita juga bisa
memetik ibrah bahwa agama memberi peluang yng cukup luas untuk memperindah diri
dan mengekspresikan keindahan agar pemakainya terlihat indah dan menawan.
Dalam ayat ini pulah Allah SWT.
menyebutkan “libas at-taqwa” inilah
penggalan ayat diatas yang berarti pakain ruhani. Rasulullah SAW. melukiskan
iman sebagai sesuatu yang tidak berbusana dan busananya atau pakaiannya adalah
taqwa. Bila seseorang telah mengenakan pakaian taqwa, “ma’rifat akan menjadi
modal utamanya, pengendalian diri ciri aktivitasnya, kasih asas pergaulannya,
kerinduan pada Ilahi tunggangannya, zikir pelipur hatinya, keprihatinan adalah
temannya, ilmu menjadi senjatanya, sabar busananya, menyadari kelemahan
dihadapan Allah adalah kebanggannya, tidak terpukau oleh kemewahan dan
kemegahan dunia, kepercayaan diri adalah harta simpanannya, kebenaran menjadi
andalannya taat adalah kecintaannya,jihad adalah kesehariannya dan shalat
adalah buah cindra mata kesayangannya”.
Jika pakain taqwa telah menghiasi
jiwa seseorang, akan terpelihara identitasnya, anggun penampilannya. Anda akan
menemukannya selalu bersih walau miskin, sederhana walau kaya, tangan dan
hatinya selalu terbuka. Tidak berjalan membawa fitnah, tidak menghabiskan waktu
dalam bermain, tidak menuntut yang bukan haknya, dan tidak menahan hak orng
lain. Bila beruntung ia selalu bersyukur, bila diuji ia bersabar, bila berdosa
ia istigfar, bila bersalah ia menyesal, dan bila dimaki ia tersenyum sembari
berucap: jika makianmu salah, semoga Allah SWT mengampunimu, jika makianmu
benar adanya aku bermohan semoga Allah SWT mengampuniku.
Ayat ini menyebutkan pakaian takwa
yakni pakaian ruhani. Setelah sebelumnya menyebutkan pakaian jasmani yang
menutupi kekurngan-kekurangan
jasmaniyah. Pakaian ruhani menutupi hal-hal yang dapat memalukan dan
memperburuk penampilan manusia jika ia terbuka. Keterbukaan aurat jasmani dapat
menimbulkan rasa perih dalam jiwa, hanya saja rasa perih atau malu yang
dirasakan bila aurat ruhani terbuka jauh lebih besar daripada keterbukaan aurat
jasmani, baik di dunia lebih-lebih lagi di akhirat.
C.
[Surah
al-A’raf(7) 31]
Hai anak-anak Adam, pakailah pakaian kamu
yang indah disetiap masjid, dan makan seta minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah SWT. tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.”
[QS. al-A’raf(7) 31]
Anjuran yang terdapat dalam ayat
diatas adalah menghendaki kita memakai pakaian yang indah minimal dalam bentuk
menutup aurat. Ini kita dapat baca dalam tafsir al-Misbah volume ke-5 karya M.
Quraish Shihab sebagai berikut:”hai
anak-anak Adam, pakailah pakaian kamu yang indah minimal dalam bentuk
menutup aurat karena membukanya pasti buruk. Lakukan itu di setiap memasuki dan berda di
masjid. Baik masjid dalam arti bangunan khusus, maupun dalam pengertian yang
luas, yakni persada bumi ini.”
D.
[Surah
an-Nahl(12) 81]
“Dan Allah SWT. menjadikan bagi kamu dari apa yang telah Dia ciptakan
tempat-tempat bernaung, dan Dia jadikan bagi kamu tempat-tempat tertutup di
gunung-gunung, dan Dia
jadikan bagi kamu pakaian yang memelihara kamu dari panas dan pakaian yang
memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Alla SWT.
menyempurnakan ni’matNya atas kamu agar kamu berserah diri.”
Kata “sarabil” dalam penggalan
ayat diatas adalah bentuk jamak dari akar kata “sirbal” yang berarti pakaian yang menutupi anggota tubuh manusia
dengan tujuan apapun seperti baju atau perisai. Ayat diatas tidak menyebutkan
secara tersirat memelihara dari sengatan dingin, ini disebabkan salasatunya
karna ditempat turunnya ayat di Mekah manusia lebih merasakan sengatan panas
daripada dingin. Ini bukan berarti al-Qur’an luput dari hal itu sebab nikmat
kehangatan sudah disebutkan dalam ayat yang lain. Perlu dipahami pula bahwa
sifat bahasa al-Qur’an yang cendrung kepada “ijmal” yaitu
penyingkatan, seringkali mencukupkan
penyebutan satu hal, walau yang dimaksudnya lebih dari satu hal, jika dari
konteksnya dapat dipahami.
E.
[Surah
al-Ahzab(33)59]
Hai anak Adam!
Katakanlah kepada istri-istrimu anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita
orang-orang mukmin agar mereka mengulurkan
atas diri mereka jilbab mereka. Itu
menjadikan mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu dan
Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. [QS. al-Ahzab(33)59]
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
tafsir al-Misbah-nya tidak mencantumkan pendapat khusus darinya. Beliau hanya
mengutip beberapa pendapat ulama sebagai berikut:
Kata “jalabib” adalah bentuk jama’ dari kata “jilbab” yang maknanya diperselisihkan oleh ulama. Al-Biqa’I
menyebutkan beberapa pendapat antara lain: baju yang longgar ataun kerudung
penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua
pakaian yang menutupi wanita. Semua pendapat ini menurut Al-Biqa’I dapat
merupakan makna dari kata tersebut diatas. Kalau dimaksud dengannya adalah
baju, maka ia adalah menutup tangan dan kakinya. Bila kerudung, maka perintah
mengulurkannya adalah menutupi wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang
menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah melonggarkan sehingga
menutupi semua badan dan pakaian.
Thabathaba’i memahami kata jilbab
dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi
kepala dan wajah wanita.
Ibn Asyur memahami kata jilbab dalam
arti pakaian yang klebih kecil dari jubah, tapi lebih bbesar dari kerudung atau
penutup wajah. Ini diletakkan diatas kepala wanita dan kedua sisi kierudung itu
terulur melalui pipi hingga keseluruh bahu dan belakangnya. Beliao menambahkan,
model jilbab bisa bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan
diarahkan oleh adat kebiasaan. Tapi tujuan
yang dikehendaki ayat adalah …menjadikan
mereka leb ih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.
F.
Fungsi-fungsi
pakaian
Dari uraian ayat-ayat diatas dapat kami sebutkan
fungsi-fungsi pakaian menuru tuntunan al-Qur’an sebagai berikut:
1.Sebagai penutup
sauat-sauat atau aurat [QS.al-A’raf(7)26]
2. Sebagai hiasan [QS.al-A’raf(7)26]
3. Pemelihara atau
pelindung [QS.an-Nahl(16)81]
4. Sebagai pembeda
identitas (deferensiasi) [QS.al-Ahzab(33)59]
5. Sebagai penutup
kekurangan (aib) [QS.al-A’raf(7)26]
Demkianlah fungsi
pakaian yang disebutkan dalam al-Qur’an yang jumlahnya paling sedikit ada 5 hal
utama. Namun dari kelimah hal tersebut, dalam al-Quru-‘an terdapat pula uraian
khusus tentang “libasu at-taqw”
pakaian ketaqwaan. Inilah sebenarnya inti sari dari tuntunan al-Qur’an tentang
segala hal yang berkaitan dengan pakaian. Sebagaimana yang telah penyusun
uaraikan sebelumnya bahwa jika ini tertanam dalam lubuk hati manusia maka
sangat besar kemungkinan tidak ada penyalagunaan pakaian. Perbedaan paradikma
akan fungsi utama dari pakaian dapat terjadi disebabkan karna kurangnya
kesadaran untuk mempelajari dan mendalami tuntunan al-Qur’an dalam berpakaian.
Dalam aplikasinya yang terjadi pada masyarakat, keindahan terkadang menjadi
pilihan utama dari pada menutup aurat. Inilah yang membuat sebagian orang
melenceng dan cenderung megabaikan tuntunan syari’at. Padahal sudah sangat
jelas bahwa fungsi utama pakaian menurut tuntunan al-Qur’an adalah menutup
aurat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam
pembahasan ini penyusun akan memberi kesimpulan mengenai ketentuan pakaian
menurut pendapat prof. Dr. M. Quraish Shihab. Dalam hal ini bersifat anjuran
sebagai berikut:
1.
Jangan bertabarruj.
Kata “ghaira mutabarrijatin bi zinah” dalam al-Qur’an
[QS.an-Nur(24)60] dalam arti, jangan sampai mereka menampakkan “perhiasan”
dalam pengertian yang umum, yang bias any tidak ditampakkan oleh wanita
baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai. Seperti ber-make up
secara berlebihan, berbicara secara tidak sopan, atau berjalan dengan
berlenggak lenggok dan segala macam sikap mengundang perhatian pria.
Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak ditampakkan kecuali kepada suami, dapat
mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan
rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil. Jangan berkata “hanya
sedikit” yang terlihat atau diperlihatkan, karena sering kali menampakkan yang
sedikit justru menimbulkan rangsangan yang lebih besar dari pada menampakkan
yang banyak.
2.
Jangan
mengundang perhatian pria.
Hal
ini dapat dilihat pada makna penggalan ayat dalam al-Qur’an [QS. an-Nur(24)31].
Pesan ayat ini tidaklah diperselisihkan bahwa segala bentuk pakaian, gerak-gerik,
ucapan, serta aroma yang bertujuan atau dapat mengundang fitnah (rangsangan
birahi) serta perhatian yang berlebihan adalah terlarang.
3.
Jangan memakai
pakaian transparan dan ketat.
Pakaian yang menampakkan kulit atau dapat
dilihat langsung seperti diterawan dan pakaian yang ketat hingga menampakkan
lekak-lekuk tubuh pasti akan mengundang bukan hanya perhatia, tetapi bahkan
rangsangan.
4.
Jangan memakai
pakaian yang menyerupai pakaian pria.
Hal ini sangat jelas
dilarang oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana beliau pernah bersabda: “ Allah SWT. mengukut
wanita-wanita meniru (sikap) lelaki dan lelaki-lelaki yang meniru (sikap)
wanita” [HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah. Dari Abu Hurairah]. Perlu dicatat bahwa peranan adat
kebiasaan dan niat disini sangat menentukan.
Imam Abu Hanifa ra. pernah berkata, “apa yang kami
ungkapkan itu adalah pendapat. Kami tidak memaksakannya pada seseorang pun,
kami juga tidak berkata bahwa seseorang harus menerimanya secara terpaksa.
Siapa yang memiliki pendapat lebih baik dari apa yang kami sodorkan, maka
hendaklah ia menghidangkannya.”
B. KRITIK
DAN SARAN
Dimata
non muslim, terkadang sebagian dari kita umat Islam dinggap sebagai tidak
konsisten dalam menjalankan syari’ah. Bila dutinjau lebih jauh memang ada
betulnya, agaknya peradaban umat islam sudah berpindah tempat. Sebuah
organisasi kebangsaan pernah mengadakan penelitian dan hasilnya memang sangat
mencengangkan. Modus penelitian adalah persoalan integritas. Coba kita
bayangkan kita di Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim tapi Negara yang
mengaplikasikan ajaran Islam sesungguhnya bukanla Negara kita akan tetapai,
menurut hasil penelitian yang mengaplikasikan hal tesebut adalah sepuluh Negara
yang mayoritas penduduknya non muslim dan yang berada diurutan pertama adalah
New Seland (Selandia Baru).
Seharusnya hasil penelitian tersebut bisa menjadi pukulan
telat bagi kita umat muslim. Dan menjadi pelajaran penting untuk kita semua.
Sudah kah selama ini kita berusaha menerapkan syari’ah dengan baik? Utamanya
dalam persoalan budaya berbusana. Tak dapat disankal bahwa realita yang ada
yang menjadi trend dikalangan remaja saat ini adalah budaya barat yang sudah
nyata idak sesuai yang dikehendaki agama kita.
Kenapa Negara kita sekarang terpuruk dibandingka dengan
Negara-negara lain? Tidak usah terlalu jauh menengok, lihat saja Negara
tetangga kita Malaysia, Indonesia lebih dulu merdeka tapi kemajuan Malaysia
dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah jauh diatas Indonesia.
Selama umat muslim jauh dari tuntunan al-Qur’an dan
as-Sunnah maka mungkin kita umat muslim tidak akan pernah meraih kemajuan
seperti yang telah diraih dahulu dalam sejarah dimasa kejayaannya. Jadi
solusinya saatnyalah kita kembali kepada al-Qur’an da as-Sunnah sebab segalah
sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan manusia dalam hal ini khususnya
berbusana sudah diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
0 komentar:
Posting Komentar